THE SUN Lee Hyuk-jae’s POV “Hei, Hyuk-jae!” aku menolehkan kepalaku ke arah sumber suara. Kulihat Lee-teuk sshi berdiri tak jauh dariku. Aku melangkahkan kakiku mendekatinya. “Ada apa, Lee-teuk sshi?” tanyaku. Kutinggikan volume suaraku, berusaha melawan suara musik yang bergema di sekeliling club ini. “Ada pelanggan untukmu. Dia sudah menunggumu di kamar nomer 9.” jawabnya, santai. DEG! Kurasakan gelombang-gelombang ketakutan menjalar di sekujur tubuhku. Jantungku berdetak semakin cepat. ‘Akhirnya saat ini tiba juga.’ batinku. “Sana! Aku tidak mau dia menunggu terlalu lama.” suruh Lee-teuk sshi. Ia membalikkan tubuhku lalu mendorongku menjauh darinya. Setiap langkah yang membawaku ke kamar itu semakin membuat detak jantungku berdebar tak karuan. Aku tak menyangka saat-saat yang sangat kutakuti ini datang secepat ini. Saat aku sampai di depan pintu, kulihat Sung-min hyung berlari mendekatiku. Ekspresi cemas terlukis sangat jelas di wajahnya. “Sudah ada, ya?” tanyanya. Aku mendengar nada khawatir dalam suaranya. Aku mengangguk lemas. “Kamu bisa mengatakan padanya kalau kamu tak mau melakukan hal itu.” ia mencoba memberi saran. “Tapi, kalau ia tetap mau melakukan hal itu? Lee-teuk sshi pasti akan marah sekali padaku kalau aku ketahuan membangkang.” kataku, lirih. Ia menggeleng keras. “Kalau perlu, kamu memohon padanya.” balasnya. Aku hanya terdiam. Tiba-tiba, Sung-min hyung mencengkram kedua lenganku. “Setiap manusia mempunyai banyak pilihan dalam hidupnya. Mereka bisa memilih mana pilihan yang terbaik menurut mereka. Sekarang semua tergantung padamu. Kamu mau mengorbankan masa depanmu untuk seseorang yang bahkan tak mengenalmu sama sekali. Ataukah kamu mau melawan dan memohon padanya agar ia tak melakukan hal kotor itu padamu.” katanya tegas. “Tapi,” “Sekarang kamu harus memilih, Hyuk.” ia memotong perkataanku. Kurasakan cengkramannya semakin keras. “Aku akan memohon padanya agar ia tak melakukan hal kotor itu padaku.” kataku, setelah berpikir beberapa saat. Sebaris senyuman terukir di wajah Sung-min hyung. Ia menepuk kepalaku pelan lalu mengacak-acak rambutku yang dihiglight merah. “Bagus! Sekarang cepat masuklah.” katanya sambil mendorong tubuhku. Aku mencoba untuk tersenyum. Tapi senyuman ini tetap tak bisa menghapus rasa khawatir dan takut yang semakin menggumpal, memenuhi rongga hatiku. “Doakan semoga aku berhasil, hyung.” kataku. Ia mengangkat tangannya. “Hwaiting!” balasnya. Aku tersenyum lagi. ‘Setelah aku membuka pintu ini, aku akan memohon pada orang itu agar ia tak melakukan hal kotor itu padaku. Ya, aku akan memohon padanya. Bila, ia menolak, aku akan terus memohon padanya.’ batinku. Saat kubuka pintu, kulihat seorang cowo, kurasa umurnya masih sebaya denganku. Ia sedang duduk di sofa sambil mengutak-atik i-podnya. Saat ia mendengar langkah kakiku yang berjalan mendekatinya, ia mengangkat kepalanya. Di bawah terang lampu kamar ini, aku bisa melihat sepasang matanya, yang menyorotkan kesedihan. Kulitnya sangat pucat, bahkan lebih pucat dari warna kulitku. Bibirnya yang merah mengulum sebuah senyum dingin. Rambutnya yang berwarna coklat tanah, ia potong acak-acakkan. Ia meletakkan i-podnya di meja lalu bangkit dari duduknya. Kedua kakinya melangkah mendekatiku. Setiap langkahnya semakin membuat tubuhku berkeringat dingin. Saat ia berdiri di depanku, ia hanya sedikit lebih tinggi dariku, sebaris senyum simpul terukir di bibirnya. Aku bisa mencium aroma peppermint dan cinnamon dari tubuhnya. Ia mengelus pipiku lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Sekarang kamu milikku.” bisiknya pelan. Aku ingin berontak, aku ingin berteriak, aku ingin sekali kabur dari kamar ini, tapi tubuhku seolah tak mengiyakan. Aku hanya diam saat ia melakukan semua hal itu. Tiba-tiba ia berbalik, mengambil i-podnya di meja, lalu menarik pergelangan tanganku. Ia membuka pintu. Ia menarik tanganku sepanjang jalan. Kulihat Sung-min hyung berdiri di balik meja bar-nya sambil menatap syok ke arah kami berdua. “Aku akan mengembalikannya ke mari saat subuh nanti.” kata cowo itu saat kami berdua bertemu dengan Lee-teuk sshi di dekat pintu masuk. Lee-teuk sshi hanya menyeringai. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku. “Jangan sampai membuatnya kecewa.” katanya di telingaku. Tubuhku semakin lemas. Sekarang rasanya aku benar-benar ingin menangis. “Kamu dengar itu kan, Hyuk-jae. Jangan sampai membuatnya kecewa.” ulang Lee-teuk sshi. Aku memaksakan tubuhku untuk mengangguk. “Saya mengerti, Lee-teuk sshi.” kurasakan suaraku bergetar. Lee-teuk sshi tersenyum lalu menepuk kepalaku pelan. “Good Boy.” katanya. Cowo itu kembali menarik tanganku. Aku membungkukkan badanku sedikit pada Lee-teuk sshi sebelum kami berdua keluar dari club. Cowo itu memencet sebuah tombol kecil di kunci mobilnya. Dan sebuah cahaya berpendar dari sebuah mobil VW Beetle berwarna silver yang diparkir tak jauh dari club. Ia menarik tanganku mendekati mobilnya lalu mendorongku masuk. Bodohnya aku bahkan tak melawan. Aku hanya terdiam. Suaraku seakan-akan tercekat di tenggorokan. Sepanjang perjalanan, keheningan menyelimuti kami berdua. Cowo itu menutup kedua telinganya dengan headphone berwarna biru. Dan beberapa menit kemudian, mobil yang kami naiki melewati deretan apartemen mewah sebelum akhirnya masuk ke dalam basement salah satu apartemen mewah itu. Cowo itu memarkirkan mobilnya lalu menggeser tubuhnya untuk melepaskan sabuk pengaman yang membelit tubuhku. “Keluarlah.” suruhnya. Dengan tangan yang gemetar, kubuka pintu mobil. Cowo itu sudah keluar duluan dan menungguku di depan mobilnya. Saat aku menghampirinya, tiba-tiba ia menarik tubuhku mendekat padanya. Ia menyatukan jemari tangannya ke tanganku. Kami berdua berjalan menuju lift sambil bergandengan tangan. Orang-orang yang berkumpul di depan lift memandang aneh ke kami berdua. Tentu saja mereka akan melakukan hal itu. Mereka semua pasti berpikir kalau aku dan cowo itu pasangan gay karena dengan terang-terangan bergandengan di tempat umum seperti ini. Tapi cowo itu tetap bersikap cuek, seolah-olah di depannya tak ada apa-apa. Aku lalu menundukkan kepalaku. “Tanganmu berkeringat. Tenanglah.” kata cowo itu tiba-tiba. Aku tersentak saat mendengar suaranya. Aku mencoba membuat tubuhku tetap tenang, seperti yang dikatakannya. Tapi setiap kali membayangkan ia akan menggerayangi tubuhku dengan tangan dan tubuhnya membuat perasaanku makin tak menentu. Aku takut. Dan beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Ia menarik tubuhnya, berusaha menggeser orang-orang yang berkumpul di depan. Kami berdua berdiri di belakang. Dan saat lampu lift menunjukkan lantai 89, ia menarikku keluar. Jantungku berdebar semakin kencang. Aku semakin takut. Ia menggesek sebuah kartu di sebuah pintu bernomer 415. Saat pintu sudah terbuka, ia menyuruhku masuk. Interior kamar apartemen ini benar-benar indah. Sebagian besar furniturnya didominasi warna putih dan baby blue. “Kamu terpesona?” tiba-tiba ia bertanya. Aku menolehkan kepalaku ke arahnya lalu mengangguk pelan. Ia tersenyum lalu melangkahkan kakinya menuju pantry. “Duduklah di manapun kamu suka.” suruhnya sambil membuka pintu kulkas. Aku mendudukkan diriku di sebuah sofa di dekat pantry. Kedua tanganku berkeringat dingin. Tiba-tiba Hpku berdering. Buru-buru kuambil Hpku yang tersimpan di dalam saku jaketku. “Halo.” kataku. “Hyuk-jae, apa yang kamu lakukan, hah?! Tadi kamu bilang kamu akan memohon padanya supaya ia tak melakukan hal kotor itu padamu, tapi kenapa kamu malah ikut dengannya?” teriak Sung-min hyung. Kulihat cowo itu berdiri di depanku. Kedua tangannya memegang dua kaleng minuman soda. Ia memandang ke arahku sebelum akhirnya mendudukkan dirinya di sebelahku. “Aku akan mencoba berbicara dengannya.” kataku lalu memutuskan hubungan telepon. Kumasukkan Hpku kembali ke saku jaket. “Dari temanmu?” tanya cowo itu sambil membuka pengait salah satu kaleng minuman soda itu. Aku mengangguk pelan. Tiba-tiba, ia menolehkan kepalanya lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bisa kurasakan hembusan nafasnya di wajahku. “Ka..kamu. .ma. .mau..aa..apa?” tanyaku terputus-putus. Jantungku berdebar semakin kencang. Air mata kembali menggenang di kedua pelupuk mataku. Ia semakin mendekatkan wajahnya. Bibir kami berdua hanya terpisah beberapa mili. Dan pertahananku pun runtuh. Aku menangis di depannya. Air mata mengalir turun, membasahi kedua pipiku. “Aku mohon jangan lakukan hal itu padaku.” kataku, di sela-sela tangisanku. Ia tersenyum. “Kamu tak perlu takut padaku. Aku tak akan melakukan hal sekotor itu padamu. Lagipula aku cowo normal. Kamu bukan tipeku.” katanya lalu menghapus air mata yang mengalir di pipiku dengan ibu jarinya. “Eh?” Aku mengerutkan keningku. Aku makin tak mengerti dengan sikapnya. “Aku bukan seorang gay.” ia menjelaskan. “Aku membayarmu malam ini untuk menemaniku mengobrol. Kamu mau, kan?” tanyanya. Kuhapus sisa air mataku. “Maksudmu apa?” aku balas bertanya. Ia tersenyum lagi. “Aku ingin mengobrol dengan seseorang yang tak mengenalku. Aku ingin mengobrol dengan seseorang yang tak akan menjilatku hanya karena aku adalah putra Lee Hyun-dae. Aku ingin mengobrol dengan santai, tanpa beban.” jawabnya. ‘Lee Hyun-dae? Aku pernah mendengar nama itu. Beliau adalah pemilik Bada Corp, perusahaan kontruksi terbesar di Asia. Jadi cowo ini putra Beliau?’ batinku, tak percaya. “Perkenalkan. Namaku Lee Dong-hae. Siapa namamu?” tanya cowo itu. “Lee Hyuk-jae.” jawabku. “Jadi, kamu membayarku malam ini bukan untuk melakukan one night stand denganmu?” lanjutku. Ia tertawa geli. “Tentu saja tidak. Aku masih menyukai wanita.” ia berkata. “Jadi, Hyuk-jae sshi, maukah kamu menemaniku mengobrol malam ini?” tanyanya lagi. ‘Tuhan, untunglah. Huff, kukira malam ini aku tidak sesial itu. Kurasa dia bukan pribadi yang buruk.’ batinku. Aku menganggukkan kepalaku. “Sekarang ceritanya dimulai darimu. Kenapa kamu bisa bekerja di club gay seperti itu? Orang tuamu tak marah padamu kalau mereka tahu kamu bekerja di sana?” tanyanya. Pertanyaannya kembali membuka kotak penuh kenangan pahit yang terkubur di hatiku. “Aku..”
-
« Home
Laman
-
Kategori
-
Arsip